Tamu orang miskin
Hari itu Jumat, ketika seekor unta mengusung seorang pemimpin besar di punggungnya meninggalkan Quba menuju Yatsrib (Madi-nah). Saat memasuki kota, berjejal lautan manusia menyongsong unta dan tuannya yang ibarat magnet besar menarik apapun yang berada disekelilingnya.
Laki-laki, perempuan, besar,kecil, tua, muda kaya, miskin tertarik bersorai mengikuti dibelakang unta.
Tiba-tiba tali kekang unta dilepaskan, dan membiarkannya berjalan kemana ia suka.
Sungguh Suatu tindakan sangat istimewa. Sebab, kini kendali unta berada di tangan Dzat Yang Ghaib, yang menjaganya menuju massa.
Sementara penunggang unta itu berjalan melewati deretan rumah orang-orang kaya di Madinah.
Setiap kali melintas, orang-orang kaya itu menawarkan jasa dan hidangan istimewa yang mereka punya.
Namun yang terdengar hanyalah,"Biar saja unta berjalan semaunya,sebab ia ada yang menyuruhnya."
Saat unta melewati rumah pejabat negara, tawaran seperti sebelumnya pun mengalir menggoda. Tinggallah bersama kami. Karena kami telah sediakan hidangan dan kenikmatan-kenikmatan lainnya."
Tapi lagi-lagi jawaban yang terdengar tetap sama.
Begitu seterusnya dan unta pun terus berjalan. Tak seorang pun mengetahui dengan pasti ke mana
unta itu akan menghentikan langkahnya.
Ajakan orang-orang kaya dengan hidangan lezat dan layanan kenikmatan lainnya tak menggiurkannya. la juga menolak ajakan dari kerabatnya.
Seolah ia tidak ingin mengikatkan dirinya pada suatu keluarga atau lapisan masyarakat tertentu.
Ketika semua deretan rumah megah milik mereka yang kaya dan terhormat dilewati begitu saja, dan juga tawaran yang mengiurkan ditampik dengan tegas dan santun, maka langkah unta pun dapat ditebak.
Menuju kampung kaum miskin nan papa.
Rasa penasaran tumpah ruah dalam hati mereka yang telah terlewati dan tak mampu membelokkan langkahsang onta. Apalagi kian jelas langkah onta itu mendekati perkampungan orang-orang miskin. Dan sungguh tak tertahankan lagi sorak-sorai kaum miskin itu.
Dengan penuh bangga mereka berjejal menyambut dan mengikuti unta dengan penunggangnya yang mulia.
Kerumunan kian menyemut. Unta itu bagai sebuah perahu yg dikelilingi ombak naik-turun. Bayang bayang Sang Penunggang unta pun timbul tenggelam begitu seterusnya.
Anak-anak kecil, para pemuda dan kaum wanita yang jiwanya dibakar oleh keimanan dan semangat revolusioner menyenandungkan syair untuk menyambut pemimpin besar yang khidmat diatas unta itu.
Thala'a al-badru 'alaina
min tsaniyyati al-wada'i
Wajaba al-syukru 'alaina ..
Tak terasa air mata mengalir di kulit pipi semua orang. Tiba-tiba kerumunan orang-orang miskin yang semula berada di barisan paling belakang itu
tersibak.
Gelombang manusia berhenti mengalir, dan kaki-kaki mereka pun bergemetaran. Semua orang bertanya-tanya tatkala unta itu telah berhenti berjalan.
Tapi dimana ia sekarang berdiri?
Ternyata ia berhenti didepan sebidang kebun kurma. Rupanya disinilah akhir
perjalanan sang unta.
Abu Ayyub, laki-laki tua yang tinggal bersebelahan dengan kebun itu menghambur keluar menyambut sang tamu terhormat.
Lantas penunggang unta yang tak lain Nabi Muhammad saw bertanya,
"Milik siapa kebun ini?"
"Milik Sahl dan Suhail, dua anak
yatim Rafi' bin Umar," jawab Muadz bin
Afra'.
Kemudian Rosululloh Muhammad pun memerintahkan membangun masjid di tempat itu. Bukan hanya
memberi komando saja, tapi Rasululloh turut menggali tanah, mengangkut dan mengaduknya sebagaimana orang lain.
Itulah secuil teladan akhlak Rasulullah SAW - "Sang tamu" bagi orang orang miskin, sang pemimpin bagi pekerja keras.
Syariati dalam "Rasulullah SAW, Sejak Hijrah hingga Wafat", Allahumma Sholli 'alaa Muhammad wa aalii Muhammad.